JAKARTA - Indonesia bersiap memulai impor minyak mentah dari Amerika Serikat mulai Desember 2025. Langkah ini dianggap bagian dari strategi baru pemerintah untuk memperkuat posisi negosiasi dagang serta diversifikasi pasokan energi nasional.
Meski volume saat ini masih kecil dibanding pemasok tradisional seperti Arab Saudi dan Angola, langkah ini menandai babak baru kerja sama energi antara Jakarta dan Washington.
Strategi Negosiasi Tarif Resiprokal
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan impor minyak mentah dari AS terkait dengan negosiasi tarif resiprokal kedua negara. “Kalau LPG kan sudah berjalan, kemudian minyak kemungkinan besar di Desember ini sudah bisa ada yang start dari sana,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Selama ini, Indonesia lebih banyak mengimpor LPG dari AS. Mulai akhir tahun depan, pembelian energi akan diperluas mencakup crude oil. Namun, skema pengadaan masih menunggu detail, termasuk kemungkinan tanpa lelang seperti disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Sebelumnya, Pertamina melalui PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) menandatangani nota kesepahaman B2B dengan ExxonMobil, KDT Global Resource, dan Chevron Corp., untuk pengadaan feedstock dan kilang.
Kesiapan Operasional Kilang Domestik
Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menyebut pembahasan teknis masih menunggu regulasi pemerintah. “Soal impor migas AS, pembahasannya masih menunggu peraturan,” kata Simon di Kompleks DPR RI.
Meski demikian, ia memastikan kilang domestik dipersiapkan untuk menerima minyak mentah asal AS. KPI menyebut crude ini kemungkinan dialokasikan ke Kilang Balikpapan yang dilengkapi fasilitas Single Point Mooring, mampu menerima kapal VLCC, sehingga biaya logistik lebih efisien.
Praktisi migas menilai secara teknis impor crude dari AS bisa diproses Pertamina. Karakteristik minyak mentah AS masih sesuai untuk fasilitas blending Pertamina, meski jarak pengiriman berdampak pada biaya logistik dan distribusi.
Konteks Perdagangan dan Tarif
Langkah ini juga terkait kebijakan perdagangan bilateral. Amerika Serikat kini menerapkan tarif 19 persen untuk Indonesia, turun dari 32 persen setelah negosiasi dibuka kembali. Beberapa kesepakatan sebelumnya mencakup impor LPG dan bensin senilai US$15 miliar.
Meski volume crude AS masih relatif kecil dibanding negara lain, pemerintah melihatnya sebagai peluang strategis dalam memperkuat hubungan dagang serta memanfaatkan tarif resiprokal.
Dampak Strategis dan Tantangan
Rencana impor minyak mentah ini dipandang sebagai bagian dari strategi diplomasi energi Indonesia. Diversifikasi sumber pasokan dianggap penting untuk mengurangi ketergantungan pada pemasok tradisional dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Namun, meski secara teknis layak, kebijakan ini membawa konsekuensi biaya logistik dan distribusi yang harus dievaluasi. Pemerintah dan pelaku industri berharap langkah ini tidak hanya mengamankan pasokan energi, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi dan strategis dalam hubungan dagang bilateral.
Dengan persiapan kilang, negosiasi tarif, dan kerja sama B2B, Indonesia menunjukkan kesiapan menghadapi dinamika pasar energi global. Impor minyak dari AS menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat keamanan energi sambil menjaga fleksibilitas dalam rantai pasok domestik.