JAKARTA - Pemerintah resmi memberlakukan bea keluar untuk emas dan batu bara, sekaligus pungutan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Kebijakan ini dinilai mampu memperluas basis penerimaan negara di tengah tekanan eksternal dan kebutuhan hilirisasi industri.
Potensi penerimaan dari batu bara diperkirakan lebih tinggi dibanding emas, karena nilai ekspor komoditas batu bara jauh lebih besar.
Sementara itu, tarif bea keluar emas telah ditetapkan dalam kisaran 7,5–15 persen, dengan tarif lebih tinggi untuk produk mentah dibanding produk setengah jadi.
Bea Keluar Emas untuk Tingkatkan Nilai Tambah
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan pengenaan bea keluar untuk emas dore, granules, cast bars, dan minted bars. Kebijakan ini bertujuan menangkap nilai tambah yang selama ini hilang karena ekspor produk setengah jadi, sekaligus mendorong hilirisasi industri emas domestik.
M. Rizal Taufikurrahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, memperkirakan penerimaan negara dari bea keluar emas bisa mencapai Rp2,7–5,5 triliun per tahun.
Sementara Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu, menghitung potensi secara konservatif sekitar Rp1,5–2 triliun, karena hanya produk hulu yang dikenakan tarif.
David Sumual, Kepala Ekonom BCA, menilai kebijakan ini selaras dengan hilirisasi, sekaligus berpotensi menambah nilai tambah bagi produk domestik bruto (PDB). Dengan meningkatnya konsumsi domestik, bea keluar emas dinilai tidak hanya menambah penerimaan tetapi juga mendorong industri pengolahan dalam negeri.
Potensi Penerimaan Batu Bara Lebih Besar
Rizal menekankan potensi penerimaan dari batu bara jauh lebih tinggi dibanding emas, mengingat nilai ekspor batu bara Januari–September 2025 mencapai US$22 miliar. Hanya dengan bea keluar 1 persen, negara bisa meraih sekitar Rp5 triliun, sementara tarif 2,5–5 persen berpotensi menyumbang belasan hingga puluhan triliun rupiah.
Meski begitu, ia mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menetapkan tarif terlalu tinggi.
Kenaikan bea keluar yang berlebihan berisiko menurunkan daya saing ekspor, terutama jika harga batu bara global melemah.
Cukai Minuman Berpemanis untuk Transisi Industri
Selain komoditas, pemerintah juga menyiapkan pungutan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Rizal memperkirakan potensi penerimaan mencapai puluhan triliun rupiah jika mengacu pada tarif rata-rata negara ASEAN, yakni Rp1.771 per liter.
Namun, pemerintah memilih target realistis sekitar Rp3–4 triliun di tahap awal, menyesuaikan dengan kemampuan industri beradaptasi. Febrio menambahkan, acuan tarif di kawasan ASEAN menjadi panduan untuk menentukan langkah bertahap dalam mengendalikan konsumsi sekaligus meningkatkan penerimaan negara.
Kebijakan bea keluar emas, batu bara, dan cukai minuman berpemanis diharapkan menjadi instrumen penting menjaga kinerja APBN. Langkah ini sekaligus memperkuat strategi hilirisasi, mendorong nilai tambah produk domestik, dan menyediakan ruang fiskal lebih luas di tengah tantangan ekonomi global.