JAKARTA - Kebijakan fiskal pemerintah memasuki babak baru ketika Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan akan merilis aturan bea keluar (BK) untuk ekspor emas pada November tahun ini.
Regulasi yang nantinya berlaku mulai 2026 itu diarahkan untuk memperkuat basis penerimaan negara, terutama dari komoditas yang dinilai memiliki potensi besar.
Penegasan tersebut disampaikan Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Febrio Nathan Kacaribu dalam rapat bersama Komisi XI DPR. Ia menyatakan bahwa pengenaan bea keluar akan menggunakan harga patokan ekspor (HPE) emas yang penyusunannya berada di bawah kewenangan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Dalam paparannya, Febrio menekankan bahwa penetapan harga melalui Permendag dan Kepmendag akan menjadi rujukan utama bagi pengenaan BK di lapangan. Dengan demikian, teknis pelaksanaannya menjadi lebih terukur dan seragam.
Struktur Tarif Berjenjang Berdasarkan Harga Global
Febrio juga mengungkapkan besaran tarif yang akan diterapkan, yang merujuk pada harga mineral acuan (HMA) emas. Jika harga emas global berada di atas US$3.200 per troy ounces, tarif bea keluar akan dikenakan sebesar 15%.
Sementara itu, untuk rentang harga US$3.200—US$2.800 per troy ounces, tarif yang berlaku adalah 12,5%. Tarif yang sama berlaku untuk harga emas di bawah US$2.800 per troy ounces. Skema berjenjang ini disusun agar pemerintah dapat merespons dinamika harga global secara lebih adaptif.
Kebijakan tersebut bukan hanya bertujuan regulatif, tetapi juga sebagai instrumen untuk memaksimalkan windfall profit ketika harga emas berada dalam tren kenaikan. Febrio menjelaskan bahwa tarif yang lebih tinggi pada periode harga tinggi akan memperkuat ruang penerimaan negara.
Potensi Penerimaan Tambahan hingga Rp2 Triliun
Di hadapan Komisi XI, Febrio mengemukakan bahwa kebijakan ini diperkirakan dapat memberikan tambahan penerimaan negara antara Rp1,5 triliun hingga Rp2 triliun per tahun. Meski demikian, ia memberi catatan bahwa proyeksi tersebut sangat bergantung pada volatilitas harga emas internasional.
Ia juga menegaskan bahwa bea keluar ini hanya akan dikenakan pada sektor hulu. Artinya, produk hilir seperti perhiasan tidak akan terkena pungutan. Kebijakan ini sekaligus diarahkan untuk mendorong hilirisasi agar produk bernilai tambah dapat berkembang di dalam negeri.
Menurutnya, pemerintah tetap bersikap konservatif dalam mengestimasi penerimaan yang dihasilkan. Fluktuasi pasar global menjadi faktor utama yang dapat mempengaruhi capaian penerimaan.
Usulan Panja Penerimaan dan Perubahan Target Kebijakan
Rencana pengenaan bea keluar pada produk emas dan batu bara sebenarnya telah masuk dalam pembahasan Panitia Kerja (Panja) Penerimaan. Usulan tersebut tercantum dalam laporan Panja Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024—2025 tertanggal 7 Juli 2025.
Dalam dokumen tersebut, perluasan basis penerimaan menjadi fokus penting, termasuk bea keluar untuk komoditas emas dan batu bara. Pengaturan teknisnya direncanakan akan mengacu pada regulasi yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, memastikan sinkronisasi antar lembaga terkait.
Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyampaikan bahwa laporan Panja mengalami beberapa penyesuaian dibandingkan penjelasan yang tercantum dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2026.
Penyesuaian tersebut dilakukan untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan lebih realistis dan sesuai dengan dinamika ekonomi terkini.