Kemenkeu Perketat Aturan Pajak UMKM Cegah Penghindaran

Jumat, 21 November 2025 | 09:55:48 WIB
Kemenkeu Perketat Aturan Pajak UMKM Cegah Penghindaran

JAKARTA - Upaya pemerintah meningkatkan kepatuhan perpajakan kembali memasuki babak baru. 

Kementerian Keuangan, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), menyiapkan mekanisme anti-penghindaran pajak atau anti avoidance rule sebagai bagian dari revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.55/2022. Kebijakan ini terutama akan berdampak pada pelaku UMKM yang selama ini memanfaatkan insentif PPh final 0,5%.

Dalam rencana amandemen tersebut, pemerintah memastikan bahwa insentif PPh 0,5% tetap diberikan bagi pelaku UMKM dengan omzet sampai Rp4,8 miliar setahun. Fasilitas itu difokuskan untuk wajib pajak orang pribadi (WP OP) dan perseroan perorangan (PT OP), yang selama ini menjadi mayoritas penerima insentif.

Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu, Bimo Wijayanto, menegaskan bahwa kelanjutan insentif tersebut akan diberikan baik secara permanen maupun berbatas waktu, namun dengan penguatan pengawasan. Kehadiran anti avoidance rule disebut sebagai kunci untuk menutup celah penyalahgunaan fasilitas.

Cegah Pemecahan Usaha sebagai Modus Penghindaran Pajak

DJP menemukan adanya pola pemecahan usaha (firm splitting) yang diduga dilakukan sebagian pelaku UMKM untuk tetap memenuhi syarat penerima insentif. Modus ini dianggap merugikan negara karena pelaku usaha secara sengaja membagi kegiatan bisnisnya menjadi beberapa entitas agar masing-masing tetap berada di bawah batas omzet Rp4,8 miliar.

Bimo menjelaskan bahwa pengawasan kini jauh lebih kuat karena DJP telah melakukan pemadanan data antara nomor induk kependudukan (NIK), nomor pokok wajib pajak (NPWP), serta nomor induk berusaha (NIB). Dengan integrasi itu, pemecahan usaha akan mudah terdeteksi.

“Jadi kami tidak ada masalah dengan itu, sistem internal kami sudah bisa men-detect,” ujar Bimo dalam konferensi pers APBN KiTa edisi November 2025, Kamis.

Melalui mekanisme pemadanan data tersebut, pelaku UMKM—baik orang pribadi maupun perseroan perorangan—yang terbukti memiliki omzet lebih dari Rp4,8 miliar setahun tidak akan lagi menerima fasilitas PPh final 0,5%. Sistem otomatis akan menolak pemberian insentif bagi entitas yang tidak memenuhi syarat.

Aturan Baru Mendorong Pembukuan UMKM Lebih Tertib

Bagi UMKM yang berstatus badan usaha dan sudah tidak memenuhi syarat penggunaan tarif final 0,5%, DJP menegaskan bahwa mereka wajib beralih ke sistem perpajakan reguler. Artinya, wajib pajak badan harus mulai menyusun pembukuan secara lengkap untuk menghitung pajak penghasilan (PPh) terutang menggunakan tarif normal.

Kebijakan ini diharapkan mendorong pelaku UMKM agar menyiapkan catatan keuangan yang lebih tertib dan transparan. Bila sebelumnya mereka bisa mengandalkan tarif final tanpa perhitungan rumit, kini UMKM yang berkembang harus mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku umum.

Insentif PPh final 0,5% masih dapat dinikmati WP badan yang masa berlakunya belum habis sesuai PP No.55/2022, yakni selama empat tahun. Namun setelah periode itu selesai, fasilitas tidak dapat diperpanjang lagi. Pemerintah menutup pintu bagi permohonan baru dari wajib pajak badan.

“Tidak ada lagi permohonan baru dari wajib pajak badan yang akan diperbolehkan untuk menggunakan insentif 0,5% PPh final. Artinya CV, kemudian PT, firma yang lain-lain tidak bisa lagi digunakan untuk mendapatkan insentif tersebut,” tegas Bimo.

Insentif Diperpanjang, tetapi Pengawasan Diperketat

Sebelumnya, Bimo menyampaikan bahwa revisi PP Nomor 55/2022 tidak hanya terkait penguatan pengawasan, tetapi juga kelanjutan pemberian insentif PPh final UMKM 0,5%. Pemerintah telah memperpanjang masa berlaku insentif dari 2027 hingga 2029, dan kini mempertimbangkan pemberian permanen bagi WP OP dan PT OP.

Namun, di balik dukungan pemerintah untuk meringankan beban pajak UMKM, otoritas juga mencatat adanya tantangan signifikan di lapangan. Banyak pelaku UMKM yang memanfaatkan celah dengan menahan omzet (bunching) atau memecah usaha untuk mempertahankan syarat omzet di bawah Rp4,8 miliar.

Temuan tersebut menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk memperkuat kerangka regulasi. Anti avoidance rule dianggap sebagai fondasi penting agar insentif berjalan tepat sasaran dan tidak disalahgunakan oleh pelaku usaha.

Dengan revisi PP tersebut, pemerintah berharap pelaku UMKM tetap memperoleh dukungan, tetapi tanpa mengorbankan integritas sistem perpajakan. Pengawasan berbasis data serta sistem digital yang semakin terintegrasi menjadi strategi yang terus dikembangkan DJP.

Analisis: Implikasi Kebijakan bagi Pelaku UMKM

Penerapan aturan anti-penghindaran pajak dalam skema PPh final 0,5% akan membawa sejumlah konsekuensi bagi pelaku UMKM. Bagi pelaku usaha kecil yang murni, kebijakan ini tidak banyak mengubah kewajiban perpajakan mereka. Namun bagi UMKM yang selama ini memanfaatkan pemecahan usaha, kebijakan baru akan membatasi ruang gerak mereka.

Pengusaha yang telah berkembang dengan omzet lebih besar didorong bertransisi ke skema tarif umum. Pemerintah menilai langkah ini adil, karena semakin besar omzet, semakin besar pula kontribusi yang seharusnya diberikan kepada negara.

Di sisi lain, insentif permanen bagi WP OP dan PT OP menunjukkan bahwa pemerintah tetap mendukung pertumbuhan sektor UMKM. Namun dukungan itu diimbangi dengan peningkatan ketertiban administrasi dan integritas data.

Dengan perubahan ini, pelaku UMKM perlu mempersiapkan diri, terutama dalam hal pembukuan dan pencatatan omzet. Ketidakpatuhan akan makin mudah terdeteksi, mengingat sistem perpajakan kini terhubung secara digital dengan berbagai sumber data.

Terkini

Kemenkop dan PWI Bersinergi Dongkrak Kebangkitan Koperasi

Jumat, 21 November 2025 | 13:38:55 WIB

Kemenekraf Dorong Buku Promosikan Lokasi Syuting Indonesia

Jumat, 21 November 2025 | 13:38:51 WIB

Mendikti Dorong Lulusan Sarjana Indonesia Kerja Global

Jumat, 21 November 2025 | 13:38:48 WIB

PNBP ESDM Capai 85 Persen Target APBN 2025

Jumat, 21 November 2025 | 13:38:44 WIB

BPKH Jajaki Investasi King Salman Gate di Makkah

Jumat, 21 November 2025 | 13:38:42 WIB