Perluasan Akses Listrik Dorong Transformasi Energi Nasional

Selasa, 18 November 2025 | 09:27:03 WIB
Perluasan Akses Listrik Dorong Transformasi Energi Nasional

JAKARTA - Perluasan akses listrik di Indonesia memasuki fase penting dalam dua tahun terakhir. 

Tidak hanya menghadirkan penerangan, hadirnya jaringan listrik telah mendorong perubahan sosial dan ekonomi di berbagai wilayah, khususnya daerah yang sebelumnya belum terjamah layanan kelistrikan. Pemerintah mencatat kemajuan signifikan dalam menjangkau rumah tangga yang sebelumnya hidup tanpa aliran listrik.

Pada 2024, lebih dari 155 ribu rumah mendapatkan sambungan baru melalui program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL). Angka tersebut meningkat menjadi 215 ribu rumah tangga pada 2025. Tren ini menjadi penanda bahwa perluasan layanan dasar energi tidak hanya dipertahankan, tetapi ditingkatkan dari tahun ke tahun.

Program tersebut diperkuat melalui Program Listrik Desa (Lisdes) 2025–2029 yang menargetkan pembangunan jaringan listrik di lebih dari 10 ribu lokasi. Dari target itu, pemerintah berharap menghadirkan 1,28 juta pelanggan baru di seluruh Indonesia.

Di wilayah timur seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara, aliran listrik membuka peluang baru. Cold storage bagi nelayan, perdagangan malam yang makin hidup, hingga berkurangnya ketergantungan pada genset menjadi bukti nyata bahwa elektrifikasi memengaruhi kehidupan masyarakat secara langsung.

Fondasi Transisi Energi dan Ketahanan Nasional

Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Muhammad Nurun Najib, menilai capaian elektrifikasi tersebut menjadi tonggak penting bagi ketahanan energi nasional. 

Menurutnya, keberhasilan menyalurkan listrik ke berbagai daerah bukan saja soal menghadirkan cahaya, melainkan menyusun fondasi bagi transisi energi bersih.

“Keseluruhan hasil kerja tersebut menjadi penanda keseriusan negara memperkuat ketahanan energi sekaligus menyiapkan fondasi transisi menuju energi bersih,” ujarnya.

Selain peningkatan elektrifikasi, pemerintah juga menjalankan berbagai proyek energi berskala besar. Hilirisasi mineral dan investasi sektor energi dengan nilai mencapai ratusan triliun rupiah menunjukkan dorongan kuat untuk menjadikan energi sebagai motor penggerak perekonomian nasional.

Namun, Najib mengingatkan bahwa kemajuan tersebut tetap membawa tantangan struktural. Ia menyoroti perlunya mengelola isu keadilan energi, pemerataan manfaat, dan perlindungan terhadap masyarakat agar tidak hanya menjadi penerima manfaat pasif.

Komitmen Pemerintah Listriki 5.700 Desa Tersisa

Dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan kembali komitmen pemerintah memperluas akses listrik ke seluruh pelosok negeri. Ia menyebut masih ada 5.700 desa yang belum menikmati listrik, meski Indonesia telah merdeka selama delapan dekade.

“Saya tahu hidup tanpa listrik pakai pelita. Kami targetkan 2029–2030 Insya Allah seluruh Indonesia sudah terlistriki,” katanya.

Program BPBL menjadi instrumen penting dalam mempercepat perluasan layanan tersebut. Sasaran utama program ini adalah rumah tangga miskin dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), terutama yang berada di wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T).

Pendekatan ini memastikan bahwa masyarakat paling membutuhkan mendapatkan prioritas pelayanan, sekaligus memperbaiki kualitas hidup dan meningkatkan akses produktif.

Dari Genset Bising ke Kehidupan yang Lebih Layak

Perubahan nyata terlihat dari kisah Ruslan (52), warga Dusun Sungai Putih, Desa Bandar Jaya, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Ia menerima pemasangan listrik gratis pada 16 Juni 2025 melalui BPBL.

Sebelumnya, Ruslan hanya mengandalkan genset kecil yang dinyalakan sesekali. Selain bahan bakarnya mahal dan suaranya bising, daya yang dihasilkan pun sangat terbatas—hanya cukup menyalakan satu atau dua lampu. Situasi itu membuat aktivitas keluarga berjalan serba terbatas.

Kini, lampu di rumah Ruslan menyala setiap malam tanpa kekhawatiran. Bagi keluarganya, listrik telah membuka banyak kesempatan. Anak-anak memiliki waktu belajar lebih panjang, sang istri bisa menjahit pesanan hingga malam, dan rumah mereka terasa jauh lebih hidup dibandingkan sebelumnya.

Transformasi ini menggambarkan dampak langsung elektrifikasi terhadap kualitas hidup masyarakat di pedesaan, terutama yang selama ini berada dalam keterbatasan akses energi.

Ketimpangan Energi dan Tantangan Pengelolaan Terpusat

Meski elektrifikasi meningkat, sejumlah persoalan mendasar masih membayangi pembangunan energi nasional. Salah satunya adalah pola pengelolaan energi yang dinilai masih terpusat pada negara dan korporasi besar. Najib menilai model seperti ini berpotensi menciptakan ketimpangan baru.

“Transisi energi masih dijalankan melalui model yang sangat terpusat. Masyarakat sering kali menjadi penerima manfaat pasif, bukan bagian dari proses pengambilan keputusan,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa keberhasilan pembangunan infrastruktur energi dalam skala makro tidak selalu langsung dirasakan oleh rumah tangga dan komunitas. Khususnya di daerah penghasil energi atau wilayah terpencil, akses terhadap manfaat pembangunan sering kali tertinggal dibandingkan pusat industri.

Ketimpangan ini menjadi pekerjaan rumah yang harus ditangani secara serius agar pembangunan energi berjalan seimbang antara aspek teknis dan sosial.

Menuju Pembangunan Energi yang Lebih Partisipatif

Najib menegaskan bahwa keadilan energi harus menjadi prinsip utama dalam pembangunan energi ke depan. Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses transisi energi, bukan hanya menjadi pengguna akhir. Partisipasi publik menjadi penting untuk memastikan pembangunan energi tidak meninggalkan kelompok tertentu.

Dengan elektrifikasi yang terus meluas, pemerintah dan pemangku kepentingan diharapkan menyusun strategi komprehensif agar manfaat pembangunan energi dapat dirasakan secara merata. 

Termasuk menciptakan ruang partisipasi, memperkuat kapasitas masyarakat lokal, dan memastikan bahwa perluasan akses listrik tidak sekadar angka statistik, tetapi perubahan nyata bagi kehidupan.

Terkini