Harga Minyak Dunia Turun Jadi USD64 per Barel, Ini Faktornya

Rabu, 05 November 2025 | 13:40:54 WIB
Harga Minyak Dunia Turun Jadi USD64 per Barel, Ini Faktornya

JAKARTA - Harga minyak dunia kembali terkoreksi pada perdagangan Selasa waktu setempat, menandai berlanjutnya tren pelemahan harga energi global. 

Setelah sempat menguat tipis sehari sebelumnya, harga minyak kini menunjukkan penurunan yang membuat pelaku pasar kembali berhati-hati menghadapi ketidakpastian ekonomi dan kebijakan produksi dari negara-negara penghasil minyak utama.

Mengutip laporan Xinhua, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember turun sebesar 49 sen atau 0,8 persen menjadi USD60,56 per barel di New York Mercantile Exchange (NYMEX).

Sementara itu, minyak mentah Brent—yang menjadi acuan global—untuk pengiriman Januari juga mengalami penurunan 45 sen atau 0,69 persen, sehingga kini diperdagangkan di level USD64,44 per barel di London ICE Futures Exchange.

Pergerakan harga tersebut menandai berbaliknya arah pasar setelah sempat menunjukkan penguatan terbatas di awal pekan. Tekanan utama datang dari ekspektasi surplus pasokan tahun depan serta perlambatan ekonomi di sejumlah kawasan utama dunia.

Prediksi Analis: Harga Bisa Kembali Menguat Tahun Depan

Meskipun harga minyak saat ini mengalami koreksi, sejumlah lembaga keuangan tetap memperkirakan ada potensi penguatan kembali dalam jangka menengah.

Salah satunya adalah Morgan Stanley, yang menaikkan proyeksi harga minyak mentah Brent untuk paruh pertama tahun 2026 menjadi USD60 per barel, naik dari prediksi sebelumnya sebesar USD57,50 per barel.

Lembaga tersebut menyebutkan bahwa keputusan OPEC+ untuk menghentikan sementara peningkatan kuota produksi pada kuartal pertama tahun depan menjadi salah satu faktor penahan penurunan harga. 

Selain itu, sanksi baru dari Amerika Serikat dan Uni Eropa terhadap aset minyak Rusia juga diperkirakan akan membatasi pasokan global dalam jangka pendek.

Kondisi geopolitik dan kebijakan produksi negara produsen besar seperti Rusia, Arab Saudi, dan Amerika Serikat masih akan menjadi faktor dominan yang menentukan arah harga minyak dalam beberapa bulan mendatang.

Surplus Pasokan Bayangi Pasar Minyak Dunia

Di sisi lain, lembaga internasional memperingatkan potensi kelebihan pasokan di pasar minyak global pada 2026.

Menurut laporan Badan Energi Internasional (IEA), pasar diperkirakan akan menghadapi surplus sebesar empat juta barel per hari pada tahun depan. Kondisi ini terjadi karena meningkatnya kapasitas produksi beberapa negara anggota OPEC dan Rusia, sementara permintaan energi global diperkirakan tidak tumbuh secepat sebelumnya.

Namun, OPEC justru memperkirakan situasi akan lebih seimbang. Kartel minyak tersebut memproyeksikan pasokan dan permintaan global akan mencapai titik keseimbangan pada 2026, seiring dengan peningkatan konsumsi dari negara-negara berkembang dan penyesuaian kebijakan ekspor di beberapa produsen utama.

Ketidakpastian ini membuat pelaku pasar terus menimbang antara potensi peningkatan pasokan dan kemungkinan pengurangan produksi yang dilakukan oleh OPEC+ untuk menstabilkan harga.

Pandangan CEO Migas Eropa: Jangan Terlalu Pesimis

Dalam sebuah konferensi energi yang digelar di Abu Dhabi, sejumlah eksekutif perusahaan minyak besar Eropa menyerukan agar pasar tidak terlalu pesimis terhadap masa depan industri minyak.

Beberapa CEO perusahaan minyak global menilai bahwa, meskipun dunia sedang bergerak menuju energi terbarukan, minyak bumi masih akan menjadi sumber energi utama dalam beberapa dekade mendatang.

Analis dari RBC Capital Markets juga menambahkan bahwa Rusia tetap menjadi faktor penentu utama pasokan minyak global. Hal ini terjadi setelah sanksi baru Amerika Serikat terhadap perusahaan minyak Rusia, seperti Rosneft dan Lukoil, serta serangan terhadap infrastruktur energi yang mempersempit pasokan dari kawasan tersebut.

Mereka menilai, kebijakan geopolitik dan risiko gangguan pasokan tetap akan memberikan dukungan terhadap harga minyak, bahkan di tengah tren penurunan jangka pendek yang terjadi saat ini.

Permintaan Asia dan Transisi Energi Tiongkok

Asia sebagai kawasan dengan konsumsi minyak terbesar di dunia juga tengah menghadapi tantangan tersendiri. Survei bisnis terbaru menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur di beberapa pusat industri Asia masih melambat sepanjang Oktober 2025.

Penurunan ini berdampak langsung terhadap kebutuhan energi, termasuk minyak mentah, karena aktivitas pabrik dan logistik menurun.

Salah satu negara yang paling berpengaruh terhadap permintaan global, yakni Tiongkok, kini mulai mempercepat transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan. Hal ini menyebabkan pertumbuhan konsumsi minyak di negara tersebut melambat sejak 2020.

Meski demikian, CEO TotalEnergies, Patrick Pouyanne, tetap menyatakan optimisme terhadap prospek jangka panjang industri minyak. Ia menilai, penurunan permintaan di Tiongkok akan diimbangi oleh peningkatan konsumsi di negara lain, terutama India, yang terus memperluas kapasitas industrinya.

“Pertumbuhan permintaan minyak Tiongkok memang melambat seiring transisi energi, namun kami melihat peluang besar di India,” ujar Pouyanne. “Dalam jangka panjang, permintaan global masih akan bertumbuh, meski secara bertahap.”

Pasar Masih dalam Fase Penyesuaian

Secara keseluruhan, penurunan harga minyak dunia pada awal November 2025 mencerminkan fase penyesuaian pasar global terhadap perubahan fundamental dalam pasokan dan permintaan.

Sementara faktor jangka pendek seperti surplus produksi dan ketegangan geopolitik masih memengaruhi volatilitas harga, prospek jangka panjang industri minyak tetap bergantung pada strategi diversifikasi energi, transisi ke sumber energi bersih, serta kebijakan produksi negara produsen utama.

Terkini

14 Aplikasi Gratis Belajar Bahasa Inggris 2025

Rabu, 05 November 2025 | 19:59:35 WIB

Cara Membatalkan Pesanan di Zalora, Mudah dan Praktis

Rabu, 05 November 2025 | 19:59:33 WIB

11 Cara Jitu Mengatasi Susah Tidur, Dijamin Ampuh!

Rabu, 05 November 2025 | 19:59:23 WIB